UPACARA NGABEN HINDU BALI
KATA PENGANTAR
Puji
syukur Tim Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dalam waktu yang relatif singkat Tim berusaha menyelesaikan makalah ini.
Semoga dengan kehadiran makalah ini dapat membantu untuk memudahkan
para mahasiswa dalam memahami tentang upacara adat ngaben yang merupakan
salah satu bentuk pelaksanaan upacara pitra yajna yang diyakini sebagai
salah satu sarana untuk mengembalikan unsur-unsur Pancan Mahabhuta
kepada asalnya.
Tim
Penulis menyadari sepenuhnya atas keterbatasan waktu, pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki serta masih langkanya literatur atau bahan
pustaka yang dimiliki, sehingga masih banyak mempunyai kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, Tim Penulis mengharapkan
sumbangan-sumbangan pemikiran, kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini yaitu dengan tema ”Upacara Adat Ngaben Umat Hindu Bali”.
Akhirnya
Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas semua
sumbangan yang diberikan, baik berupa saran maupun kritik.
Juni 2009
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian
atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah
putus, ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi
atau Tuhan Yang Maha Esa, sang pencipta kelahiran dan kematian yang
berwenang menentukan status batas usia, yang tidak dapat diramal oleh
manusia biasa, kapan waktunya yang tepat seseorang berpulang kedunia
akhirat.
Didalam
perjalanan kematian tersebut diatas tidak ada ketentuan yang pasti
terhadap seseorang tidak ada pilih kasih, tidak ada perbedaan kaya
ataupun miskin, juga perbedaan pejabat atau bukan pejabat, ayah apa
anak, kakek apa cucu, dokter apa pasien, semuanya akan berjalan kelak
menuju kearah kematian sesuai dengan kehendak takdir, yang
diembel-embeli pula dengan perbuatan serta karmanya.
Jadi
mati adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian
masing-masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai
cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai
manusia yang memiliki peradaban budaya.
Khususnya
di Bali dengan umat yang memeluk Agama Hindu yang menganut kepercayaan
adanya roh masih hidup setelah badan kasar tak bergerak dan terbentang
kaku, mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang
yang berpulang yang disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara
ini biasa dikenal dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan
disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan seseorang yang bernilai
“Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.
B. Maksud dan Tujuan
Maksud
dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran
secara ringkas dan jelas tentang segala sesuatu
mengenai Upacara adat Ngaben. Secara garis besarnya Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) kealam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan dunianya, Ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam Pitra.
mengenai Upacara adat Ngaben. Secara garis besarnya Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) kealam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan dunianya, Ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam Pitra.
Kemudian
yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan /
Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di
alam ini dan Atma dapat selamat dapat pergi kea lam pitra. Oleh
karenanya ngaben tidak bias ditunda-tunda, mestinya begitu meninggal
segera harus diaben. Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini
sejak dulu kala, dimana dalam waktu yang singkat sudah diaben, tidak ada
upacara yang menjelimet, hanya perlu Pancaka tempat
pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak
mantram-mantram atau kidung yang terus mengalun. Agama Hindu di Bali
juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan
alternatif untuk menunggu
sementara, mungkin dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga,
menunggu dewasa (hari baik) menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat
darisetahun.
Tetapi sebenarnya dengan mengambil jenis ngaben sederhana yang telah
ditetapkan dalam Lontar, sesungguhnya ngaben akan dapat dilaksanakan
oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimana juga. Yang penting tujuan
utama upacara ngaben dapat terlaksana. Sementara menunggu waktu setahun
untuk diaben, sawa (jenasah / jasad / badan kasar orang yang sudah
meninggal) harus dipendhem (dikubur) disetra (kuburan). Untuk tidak
menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan, sawa pun dibuatkan
upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses pengembalian Panca Maha
Bhuta terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam upacara mependhem
ini.
BAB II
PERMASALAHAN
Ngaben
selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tidak
bisa ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar
yaitu : Ngaben berasal dari kata Ngabehin, artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dana berlebihan, orang tidak akan berani ngaben. Anggapan
keliru ini kemudian mentradisi. Akhirnya banyak umat Hindu yang tidak
bisa ngaben, lantaran biaya yang terbatas. Akibatnya leluhurnya
bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep dasar
dari upacara ngaben itu.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka timbulah beberapa permasalahan, antara lain :
1. Apa sesungguhnya ngaben itu ?
2. Apakah ngaben selalu menggunakan dana yang besar ?
3. Apakah tidak ada jenis ngaben yang dapat dilakukan dengan penyediaan dana yang kecil ?
4. Mengapa tidak semua orang dapat diaben ?
5. Apakah landasan filosofi dari upacara ngaben?
6. Apa maksud dan tujuan diadakannya upacara ngaben?
Dari
beberapa penelusuran terhadap berbagai lontar di Bali, ngaben ternyata
tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat
sederhana. Ngaben-ngaben jenis ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian, terdapat juga berbagai jenis upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dansawa wedhana. Semua
jenis ngaben ini, akan Tim coba uraikab dalam makalah ini sehingga
pembaca mendapatkan gambaran, bila ngaben tidak selalu merupakan
pemborosan. Ngaben juga bisa dilakukan secara sederhana. Banyak sastra
yang mengatakan semua jenis ngaben tersebut merupakan suatu yang utama.
Sebab itu merupakan usaha penyucian sehingga kembali ke asalnya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ngaben
secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun
dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben
yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari
kata beyaartinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.
Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa. Kata
atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari
bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga
kita jumpai pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.
Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan
kita pada upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang
berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan
badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara.
Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan
demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan
tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam
tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.
Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebuttunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmianberasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atausema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini.
Diantara
pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan
itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat
presfiks “ng” menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian”
yang setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena
terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi
“b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti
“menuju api”.
Adapun
yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma
sang mati melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu
linggih Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta
(utpeti).
Sesungguhnya
ada dua jenis api yang dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api
Sekala (kongkret) yaitu api yang dipergunakan untuk membakar jasad atau
pengawak sang mati dan Api Niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang
Sulinggih selaku sang pemuput karya yang membakar kekotoran yang
melekati sang roh. Proses ini disebut “mralina”.
Di
antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih
tinggi nilainya dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline
yang muncul dari sang Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput) akan
memohon kepada Dewa Siwa agar turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk
melakukan “pralina”. Mungkin karena api praline dipandang lebih
mutlak/penting, dibeberapa daerah pegunungan di Bali ada pelaksanaan
upacara Ngaben yang tanpa harus membakar mayat dengan api, melainkan
cukup dengan menguburkannya. Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila
tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa
mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan
dengan Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.
Lepas
dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang kehadiran
api sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses
peleburan sthula sarira (badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha
untuk menyatu kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini.
Proses percepatan pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya
akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa sampai di
alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di
sanggah/merajan untuk disembah. Tentunya setelah melalui upacara
“mamukur” yang merupakan kelanjutan dari “Ngaben”.
B. Landasan Filosofis
Manusia terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu manusia ituterdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma (Roh).
Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur panca mahabhuta yaitu prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.
Proses
terjadinya Ragha Sarira atau badan kasar adalah sebagai berikut :
sari-sari Panca Maha Bhuta yang terdapat pada berbagai jenis makanan
terdiri dari enam rasa yang disebut sad rasa yaitu Madhura (manis), Amla
(asam), Tikta (pahit), Kothuka (pedas) , kyasa (sepet) dan lawana
(asin). Sad rasa tersebut dimakan dan diminum oleh manusia, dimana
didalam tubuh diproses disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama
bang (Ovum / sel telur) dan kama putih (sperma). Dalam pesanggamaan
kedua kama ini bertemu dan bercampur melalui pengentalan menjadilah ia
janin, badan bayi. Sisanya menjadi air nyom, darah lamas (kakere) dan
ari-ari.
Percampuran
kedua kama ini dapat menjadi janin, bilamana atma masuk atau turun
kedalamnya. Konon atma ini masuk kedalam unsur kama yang bercampur ini,
ketika ibu dan bapak dalam keadaan lupa, dalam asyiknya menikmati rasa.
Disamping Panca Maha Bhuta yang kemudian berubah menjadi janin ikut juga
Panca Tan Matra, yakni benih halus dari Panca Maha Bhuta itu. Panca Tan
Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi Suksma
Sarira, yakni Citta, Manah, Indriya dan Ahamkara. Citta terdiri dari
tiga unsur yaitu disebut Tri Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga
unsur ini membentuk akhlak manusia. Manah adalah alam pikiran dan
perasaan, indriya alam keinginan dan ahamkara adalah alam keakuan.
Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira. Alam transparan ini dapat
merekam dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh badan atas
pengendali Citta tadi. Bekas-bekas ini nantinya merupakan muatan bagi si
Atma (roh) yang akan pergi ke alam pitra.
Ketika
manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atma akan pergi meninggalkan
badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas
kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal
badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah
rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi Atma (roh).
Untuk
tidak terlalu lama atma terhalang perginya , perlu badan kasarnya di
upacarakan untuk mempercepat proses kembalinya kepada sumbernya dialam
yakni Panca Maha Bhuta. Demikian juga bagi sang atma perlu dibuatkan
upacara untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan
badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben.
Kalau
upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama,
badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut Bhuta Cuwil,
dan Atmanya akan mendaptkan Neraka, seperti dijelaskan :
“Yan
wwang mati mapendhem ring prathiwi salawasnya tan kinenan
widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro haro gering
mrana ring rat, etemahan gadgad”
Artinya
“kalau
orang mati ditanam pada tanah, selamnya tidak diupacarakan diaben,
sungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit mrana di dunia,
menjadi gadgad (tubuhnya)….”(lontar Tatwa Loka Kertti, lampiran 5a).
Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah :
1. Ketuhanan
/ Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta
isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya
semua ciptaan itu. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat
dengan kalimat Sang Sangkan Paraning Dumadi artinya
beliau sebagai asal dan kembalinya alam semesta beserta semua isinya.
Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara tersebut dilakukan dengan
tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan manusia ke
asalnya. Sebagaimana juga tujuan dari Agama Hindu yaitu Moksartham Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma yang berarti bahwa tujuan tertinggi agama Hindu adalah mencapai Moksa. Dimana Moksa dapat diartikan sebagai proses menyatunya Atma dengan Brahman atau dengan istilah Atman Brahman Aikyam, konsep
Agama Hindu adalah untuk kembali menyatu dengan sang pencipta (Brahman /
Tuhan), dimana Tuhan merupakan asal semua kehidupan.
2. Atman
(roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia. Ia
yang menghidupkan semua mahkluk termasuk manusia. Atma merupakan
setetes kecil (atum) dari Brahman. Suatu sat setelah tiba waktunya, ia
pun akan kembali kepada asalnya yang suci, atma perlu disucikan. Hal
inilah yang memerlukan upacara.
3. Karma
: Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas
dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap
kerja akan berpahala. Kerja yang baik (Subha karma) berpahala baik pula.
Kerja yang buruk (Asubha karma) akan berakibat keburukan pula. Pahala
karma ini akan menjadi beban atma akan kembali keasalnya. Lebih-lebih
buah karma yang buruk. Ia merupakan beban atma yang akan menghempaskan
ke alam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia perlu berusaha untuk
membebaskannya. Bagi para Yogi ia mampu membebaskan dosa-dosanya tanpa
bantuan sarana dan prasarana orang lain. Tapi bagi manusia biasa, ia
memerlukan pertolongan. Hal-hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara
Ngaben itu, yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan
dosa-dosa itu.
4. Samsara
: artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur
kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi
manusia. Adalah sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh
karena itu perlu dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu tujuannya
adalah untuk melepaskan atma untuk dapat kembali ke asalnya. Hal ini
disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara kelepasan lainnya
seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.
5. Moksa
: artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan harapan
semua manusia. Dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya
moksa itu, atma harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan.
Keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir Ia harus
dipersatukan dengan sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara
ngaben, memukur dan terakhir Ngalinggihang Dewa Hyang pada sanggah
Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti Atma bersatu dengan
sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai Moksa (kendatipun
ini hanyalah usaha dan khayalan pretisantana).
C. Unsur Metafisika dalam Ngaben
Setelah
mengetahui maksud dan tujuan serta landasan filosofis. Penulis akan
mencoba mengungkapkan unsur metafisika yang terdapat dalam upacara
ngaben. Berangkat dari ontologi (metafisika umum) yang berusaha menjawab
persoalan dan menggelar gambaran umum tentang struktur yang ada atau
realitas berlaku mutlak untuk segala jenis realitas (yang ada). Realitas
yang mendasar yang diyakini sebagai sumber dan makna itu oleh Sontag
(1970:4) disebut sebagai “prinsip utama” ( the first principle ).
Setiap filsuf atau aliran dalam memahami prinsip pertama menggunakan
cara-cara yang berbeda, oleh karena itu dalam pemikiran filsafat kita
menemukan beberapa model pendekatan, dari yang tradisional sampai yang
paling kontemporer. Pendekatan itu berkembang dari model pemikiran
kosmosentris, theosentris, antroposentris, logosentris, dan ke
gramatologisentris. Masing-masing memiliki watak, titik pijak,
perspektif, dan orientasi yang berbeda.
Telah
ditetapkan bahwa dalam upacara ngaben dianggap sebagai “simbolis
pengantar atma (jiwa) ke alam pitra (baka)”. Proses pengantaran atma ke
alam pitra merupakan prinsip utama yang lalu dituangkan melalui symbol
berupa upacara yang disebut Ngaben. Oleh karena itu “proses pengantaran
atma (jiwa) ke alam pitra (baka)” tersebut merupakan prinsip pertama
dalam ontologi upacara ngaben.
D. Dasar Hukum
Ngaben
merupakan salah satu upacara adat Umat Hindu yang masuk ke dalam ruang
lingkup upacara Pitra Yajna. Dimana yang dimaksud dengan Pitra Yajna
adalah persembahan suci kepada leluhur. Pitra Yajna berasal dari kata
Pitr yang artinya leluhur, yajna yang berasal urat kata yaj yang berarti
berkorban. Leluhur dimaksud adalah Ibu Bapak, kakek, buyut, dan
lain-lain yang merupakan garis lurus ke atas, yang menurunkan kita. Kita
ada karena ibu dan Bapak. Ibu dan Bapak ada karena Kakek dan Nenek,
begitu seterusnya. Jadi kita ada atas jasa mereka. Kita telah berhutang
kepada mereka. Hutang kepada leluhur disebut Pitra Rna. Hutang
ini harus dibayar, membayar utang kepada leluhur dengan melaksanakan
pitra yajna. Jadi pitra yajna merupakan suatu pembayaran hutang kepada
leluhur. Hal inilah yang menjadi dasar hukum dari pada Pitra Yajna itu.
Upacara
menghormati leluhur dalam Agama Hindu di kenal dengan istilah Sradha.
Hal ini dijelaskan dalam Menawa Dharma Sastra sebagai berikut : “Upacara
Pitra Yajna yang harus kamu lakukan Hendaknya setiap harinya melakukan
sraddha dengan mempersembahkan nasi atau dengan air dan susu, dengan
umbi-umbian . Dan dengan demikian Ia menyenangkan para leluhur.”
(M.D.S.I.82).
E. Jenis – jenis Ngaben Sederhana
1. Mendhem Sawa
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di
muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk
ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti yang telah
diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis
lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan
ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan atau latar belakang
filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang
berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu.
Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi.
Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus
segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu
sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu.
Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
2. Ngaben Mitra Yajna
Berasal
dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban
suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan
pada Lontar Yama Purwana Tattwa,
karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap
lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam
warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk membedakan
dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra
Yajna.
Pelaksanaan
Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama
Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan dilaksanakan di dalam
tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari baik).
3. Pranawa
Pranawa
adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan
huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur
tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati
dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati.
Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian.
Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti
amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan
ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah
diuraikan.
4. Pranawa Bhuanakosa.
Pranawa
Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben
Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam,
disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana
Wa.
5. Swasta
Swasta
artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya
(mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat,
meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya
dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta. Walaupun orang hina, biasa,
dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan
Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai
daging, balung cendana 18 potong. Pranawa sebagai suara, ambengan
(jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga
hidup. Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang
meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara
pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di
pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan
di Jaba Pura Dalem.
F. Ngaben Sarat
Ngaben
Sarat adalah Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh
sarat dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara ngaben sarat ini
memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala
sesuatunya. Ngaben sarat dilakukan baik terhadap sawa yang baru
meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem. Ngaben sarat
terhadap sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan ngaben
sarat terhadap sawa yang pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik
sawa prateka maupun sawa wedhana memerlukan perlengkapan upacara
bebanten dan sarana penunjang lainnya yang sangat besar atau banyak.
Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang panjang serta memerlukan
tenaga penggarap yang besar. Karena itulah terhadap kedua jenis ngaben
ini disebut Ngaben Sarat.
1. Kondisi Umat Hindu dimasa lalu
Pada
masa lalu, lebih-lebih sebelum masa kemerdekaan, umat Hindu kondisinya
sangat lemah. Sebagai masyarakat Agraris mereka berpenghasilan sangat
rendah. Pemahaman terhadap Agama Hindu sangat rendah. Lebih-lebih ketika
itu, ajaran Agama masih tabu untuk dipelajari secara umum. Motto away wera yang
disalahtafsirkan menghantui pikiran umat. Akibatnya pemahaman Agama
Hindu sangat rendah. Pengertian Ngaben disalah artikan dimana Ngaben
adalah identik dengan Ngabehin.
Kalau tidak mempunyai dana yang besar umat tidak akan berani ngaben.
Umat tidak mengenal ada bentuk ngaben sederhana. Lalu mereka jarang
sekali ngaben. Kalau toh ada ngaben mereka pasti golongan mekel, golongan menak, keluarga Puri, atau Geria.
Sewaktu-waktu
umat kebanyakan juga ikut ngaben. Namun secara kolektif, baik dengan
cara ngiring (ikut / numpang) pada puri atau pun geria; kadang kala dari
masyarakat yang berpikiran agak maju, melaksanakan ngaben kolektif yang
disebutNgagalung. Biasanya
disponsori oleh banjar. Akibat dari semua itu, sawa leluhur lama
terpendam. Bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Hal ini tentu
bertentangan dengan prinsip ngaben.
1. Kondisi umat Hindu masa sekarang.
Masyarakat
sekarang telah measuki era Industrialisasi. Khususnya Bali adalah
Industri Pariwisata. Masyarakat Industri adalah masyarakat yang penuh
dengan kesibukan. Pendapatan masyarakat semakin meningkat. Pemahaman
terhadap ajaran agama juga semakin meningkat, pelaksanaan upacara
menjadi semakin semarak. Dengan pendapatan yang tinggi maka semakin
bergairah dalam melaksanakan ibadah agamanya. Bagi Agama Hindu
melaksanakan upacara agama termasuk ngaben kelihatan makin semarak saja.
Setiap orang mati kebanyakan diaben. Ada yang mengambil ngaben
sederhana dan ada juga yang mengambil jenis pengabenan sarat. Disisi
lain akibat dari dampak pengaruh industri pariwisata, adalah penyempitan
waktu. Hidup gotong royong seperti masa lalu mulai terancam. Kalau ada
tetangga yang ngaben, tanpa diundang dia datang untuk membantu bekerja.
Tapi sekarang tanpa di undang ia tidak akan datang. Kalau toh diminta
paling-paling bisa membantu 1 s/d 2 kali saja. Syukurlah masyarakat
Hindu di Bali masih mempunyai Banjar. Banjar adalah suatu lembaga adat
yang andal untuk mempertahankan kebersamaan dan gotong-royong. Melalui
banjar umat Hindu yang ngaben dapat mengharapkan bantuan warganya. Hanya
beberapa kali mereka dapat meminta gotong-royong banjar. Ternyata
lembaga banjar ini masih sangat efektif untuk membantu pelaksanaan
ngaben.
v Jenis-jenis Ngaben Sarat :
Jenis-jenis Ngaben Sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
1. Bilamana sawa yang diupakarakan itu baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sawa
Prateka adalah jenis ngaben untuk sawa (mayat) yang baru meninggal
belum sempat diberikan upacara penguburan. Bila disimpulkan yaitu begitu
atma atau urip meninggalkan badan, sawanya lalu diupacarakan di rumah
seperti dimandikan, diperciki tirta pemanah, dihidangkan saji tarpana,
dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya
terdahulu. Jadi di rumah betul sawanya yang diupakarakan. Inilah yang
disebut Sawa Prateka.
2. Sedangkan terhadap sawa yang telah pernah dikubur (di pendhem) lalu di aben disebut Sawa Wedhana. Sawa
Wedhana adalah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah
mendapatkan upacara penguburan (ngurug). Adapun sawa yang telah ditanam
di Setra namanya makingsan, dititipkan pada tanah. Atma itu dipegang
oleh Bhatari Durga. Pimpinan setra. Demikian prihalnya sawa yang
ditanam. Pada Waktu pengupacarakan sawa itu namanya sawa Wedhana. Tiga
hari menjelang pengabenan ada upakarannya yang disebut ngulapin. Sawa
yang telah pernah dipendhem disebut tawulan. Tawulan
ini tidak ikut diupacarakan lagi tawulan ini diganti dengan pengawak,
yang terbuat dari kayu cendana atau kayu mejegau yang panjangnya satu
lengkat satu hasta. Dan lebarnya empat jari. Cendana ini digambari
orang-orangan sebagai pengganti sawa. Pengawak ini disebutsawa karsian. Upacara ngaben jenis ini juga disebut Sawa Rsi.
G. Pembagian Ngaben Menurut Caranya
Selain
pembagian ngaben menurut jenis ngaben diatas baik ngaben sederhana
maupun ngaben sarat, adapula pembagian ngaben dilihat dari cara
pelaksanaannya yaitu :
1. Ngaben Langsung
Ngaben
Langsung Artinya, Upacara ini langsung dilakukan setelah orang itu
meninggal. Ini biasanya dilakukan bagi mereka yang boleh dikatakan mampu
untuk urusan ekonominya. Pada umumnya upacara ngaben dari persiapannya
membutuhkan waktu yang agak lama, minimal kira-kira 10 hari, itupun jika
“hari baik” berdasarkan hitungan kalerder Bali sudah dapat ditentukan /
dipilih. Sementara itu biasanya mayat dari orang yang meninggal akan
diawetkan terlebih dahulu, baik dengan cara pembekuan (es), atau dengan
zat kimia lainnya.
2. Ngaben Massal (ngerit)
Seperti
namanya ngaben masal dilakukan secara bersama-sama dengan banyak orang.
Di masing-masing desa di Bali biasanya mempunyai aturan tersendiri
untuk acara ini. Ada yang melakukan setiap 3 tahun sekali, ada juga
setiap 5 tahun dan mungkin ada yang lainnya. Bagi masyarakat yang kurang
mampu, ini adalah pilihan yang sangat bijaksana, karena urusan biaya,
sangat bisa diminimalkan. Biasanya mereka yang mempunyai keluarga
meninggal dunia, akan di kubur terlebih
dulu. Pada saat acara ngaben masal inilah, kuburan itu digali lagi
untuk mengumpulkan sesuatu yang tersisa dari mayat tersebut. Sisa tulang
atau yang lain, akan dikumpulkan dan selanjutnya dibakar.
Prosesi
upacara ngaben selanjutnya, setelah pembakaran mayat, abunya kemudian
dibuang ke laut. Dilanjutkan dengan upacara penjemputan arwah di laut
tersebut, sebelum akhirnya ditempatkan di pura keluarga masing-masing.
Disinilah biasanya seperti dijelaskan dihalaman lain tentang pura
keluarga masyarakat hindu di Bali, disamping fungsinya untuk memuja
tuhan juga untuk memuja para leluhurnya.
H. Hari Baik atau Dewasa Ngaben
Pada
hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari
adanya pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan alam kecil
dengan alam besar (Makrokosmos) itu. Adanya pengaruh alam besar terhadap
kehidupan manusia serta akibat dari pengaruh saling berhubungan itu
betul-betul diperhatikan oleh setiap umat Hindu dalam melakukan usaha
terutama dalam melakukan upacara yajna, dalam hal ini ngaben.
Bergeraknya
matahari ke utara atau keselatan dari bulatan bumi yang sesuai dengan
penglihatan manusia, seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa
pengaruh yang besar terhadap kehidupan di Bumi, lahir bathin.
Bergeraknya matahari inilah yang menjadi patokan pesasihan dalam ilmu
wariga itu. Dan pesasihan merupakan dasar pokok dari dewasa, khususnya
dewasa ngaben sarat.
Bila
kita perhatikan keadaan sasih yang disebabkan pergeseran matahari ke
utara ke selatan (secara pandangan manusia) maka akan terlihatlah
bagian-bagian sasih-sasih itu serta kegunaannya untuk upacara apa
tepatnya, sesuai dengan petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.
I. Upacara Adat Ngaben di Desa Trunyan Bali.
Terletak
di pinggir Danau Batur dan dikelilingi tebing bukit, Desa Trunyan
memiliki banyak keunikan sebagai sebuah desa kuna dan Bali Aga (Bali
asli). Konon ada sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan bau sangat
harum. Bau harum itu mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk
mendatangi sumber bau. Beliau bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit
di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka
kawin dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung
yang sedang berburu. Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi
seorang dewi yang tidak lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat.
Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-orang desa
Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang
lama kelamaan menjadi Trunyan. Desa ini berada di Kecamatan Kintamani,
Daerah Tingkat II Bangli. Ternyata tidak semua umat Hindu di Bali
melangsungkan upacara ngaben untuk pembakaran jenasah. Di Trunyan,
jenasah tidak dibakar, melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan.
Trunyan adalah desa kuna yang dianggap sebagai desa Bali Aga (Bali
asli). Trunya memiliki banyak keunikan dan yang daya tariknya paling
tinggi adalah keunikan dalam memperlakukan jenasah warganya. Trunyan
memiliki tiga jenis kuburan yang menurut tradisi desa Trunyan, ketiga
jenis kuburan itu di- klasifikasikan berdasarkan umur orang yang
meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan yaitu :
1. Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik yang disebut Setra Wayah.
Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak cacat, dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar (bukan bunuh diri atau kecelakaan).
2. Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang
khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah.
Namun tetap dengan syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat.
3. Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun ulah pati (meninggal secara tidak wajar misalnya kecelakaan, bunuh diri).
Dari
ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah
kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi
sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki
tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan harus menggunakan sampan
kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur, namun
cara penguburannya unik yaitu dikenal dengan istilah mepasah. Jenasah
yang telah diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan begitu saja di
atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya dari bagian dada ke atas,
dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi
dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bambu membentuk semacam
kerucut, digunakan untuk memagari jenasah. Di Setra Wayah ini terdapat 7
liang lahat terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa
yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan masih ada 5
liang berjejer setelah kedua liang tadi yaitu untuk masyarakat biasa.
Jika
semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur,
jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang
menempati lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di pinggir
lubang. Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan
tengorak-tengkorak manusia yang tidak boleh ditanam maupun dibuang.
Meski tidak dilakukan dengan upacara Ngaben, upacara kematian tradisi
desa Trunyan pada prinsipnya sama saja dengan makna dan tujuan upacara
kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali lainnya. Upacara
dilangsungkan untuk membayar hutang jasa anak terhadap orang tuanya.
Hutang itu dibayarkan melalui dua tahap, tahap pertama dibayarkan dengan
perilaku yang baik ketika orang tua masih hidup dan tahap kedua pada
waktu orang tua meninggal serangkaian dengan prilaku ritual dalam bentuk
upacara kematian.
BAB IV
PENUTUP
Dari semua uraian dan penjelasan Upacara Ngaben, sebagai penutup dapatlah disimpulkan sebasgai berikut :
Ngaben adalah upacara pemberian beya atau bekal bagi
roh untuk kembali kepada asalnya, dan pembakaran mayat, tawulan atau
awak-awakan Sawa (jenasah) untuk mempercepat proses kembalinya unsur
Panca Maha Bhuta ke asalnya.
Ngaben
dapat dibagi dua yakni ngaben sarat dan ngaben sederhana yakni ngaben
yang dilakukan dengan cara sangat sederhana. Ngaben ini terdiri dari :
Mitra Yajna, Pranawa, Swasta, dll. Ngaben sarat adalah ngaben yang penuh
sarat dengan perlengkapan-perlengkapan upakara bebanten dan peralatan
lainnya. Ngaben sarat ini terdiri dari dua jenis yakni sawa prateka dan
sawa wedhana.
Kendatipun ada perbedaan dalam materi, maupun manfaat kedua jenis ngaben ini sama saja (utama juga ia, wenang ingangge der sang catur janma).
Upacara
ngaben dilandasi oleh pemikiran akan hakekat kehidupan sebagai manusia,
yang berasal dari Tuhan untuk kembali kepada Tuhan.
Untuk tercapainya tujuan Ngaben dengan semaksimal telah ditentukan adanya hari-hari baik (dewasa).
Semua peralatan dan sarana Ngaben terutama sekali pada Ngaben Sarat, adalah merupakan simbol-simbol yang bermakna.
Ngaben adalah merupakan swadharma pretisantana untuk menunukkan rasa bakti yang mendalam terhadap leluhurnya.
Meninggal
yang tidak wajar dalam umat Hindu dikenal dengan istilah Salah Pati
(dicari mati seperti contohnya : kecelakaan), dan Ulah Pati (mencari
mati seperti contohnya bunuh diri).
Demikianlah
penjelasan tentang upacara ngaben yang merupakan suatu proses ritual
yang dilakukan oleh masyarakat bali. Dari penjelasan di atas kita dapat
melihat penjelasan etimologi dan terminologi, maksud, tujuan, landasan
folosofis dan unsur metafisika dalam upacara dan proses ngaben.
Posted by : I Wayan Sukadana, S.Hut
Om swastiastu..
BalasHapusapa kabar Yan? masih ingetkah dirimu dgn saya dulu waktu kuliah di malang dan satu kontrakan di candi mendut...hehehe.
Melali ke blog saya nahh
http://kebangkitan-hindu.blogspot.com/
Trims Bozz, sudah berkunjung ke Blog saya.. saya baru belajar ngeblog, masih sangat awam, msh perlu belajar banyak... hehee...
BalasHapusSitus Blog anda sudah saya kunjungi, Sangat Bagus sekali... kapan ya saya bisa mengelola Blog sebagus itu?
Kalau tidak keberatan, mohon berkunjung ke Situs Blog desa kami di :
http://kertabuwana-desa.blogspot.com/