Tahun ini Hari Raya Nyepi jatuh pada Hari Sabtu, Tanggal 21
Maret 2015 yang merupakan Tahun Baru Saka 1937.
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi,
senyap). Hari Raya Nyepi merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan Kalender Caka yang dimulai sejak
tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka
dimulai dengan menyepi. Pada hari tersebut tidak ada kesibukan aktivitas
seperti biasa, umat Hindu melaksanakan "Catur Brata Penyepian" yang
terdiri dari amati geni (tidak menggunakan dan atau
menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati
lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak
mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa,
brata, yoga, dan semadhi.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah
memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam
manusia atau microcosmos) dan Bhuana Agung (alam semesta
atau macrocosmos).
Beberapa rangkaian kegiatan
yang dilaksanakan Umat Hindu di tahun 2015 ini Sebelum dan Sesudah Hari Raya Nyepi, yaitu:
Upacara Melasti
Tiga hari sebelum Hari Nyepi, tepatnya pada Hari Rabu
Tanggal 18 Maret 2015, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara
Melasti atau Mekiyis.
|
Upacara Melasti dihadiri Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming disambut Anggota DPRD, I Wayan Sudarma, S.Sos dan umat Hindu yang hadir |
Untuk scope Kabupaten Tanah Bumbu, Umat
Hindu melaksanakan Upacara Melasti di Pantai BALI Kecamatan Sungai Loban
Kabupaten Tanah Bumbu, Rabu (18/3/2015) sebagai rangkaian
menjelang Hari Nyepi 2015 dan Tahun Baru Saka 1937. Upacara Melasti yang
bertema “Dengan Melaksanakan Darma Negara kita Wujudkan Harmoni Nusantara”
dihadiri langsung Bupati Tanah Bumbu Mardani H. Maming dan Ketua TP PKK Kabupaten
Erwinda Mardani beserta Rombongan disambut oleh Tokoh Masyarakat dan Umat yang
hadir.
Upacara melasti dapat
didefinisikan sebagai Nganyudang Malaning Gumi Ngamet Tirta Amerta,
yang dapat artikan menyucikan segala leteh (kotor) di dalam
diri manusia dan alam semesta. Dalam kepercayaan Hindu, sumber air
seperti danau dan laut dianggap sebagai asal tirta amerta atau air kehidupan. Sumber-sumber air
tersebut memberikan kehidupan bagi seluruh makhluk hidup, termasuk umat
manusia. Karena itulah, upacara melasti selalu diadakan di tempat-tempat
khusus seperti tepi pantai atau tepi danau.
Menurut
Lontar Sunarigama dan Sang Hyang Aji Swamandala ada empat hal yang dipesankan
dalam upacara Melasti tersebut.
Ø Pertama, untuk mengingatkan umat agar meningkatkan terus
baktinya kepada Tuhan (ngiring parwatek
dewata).
Ø Kedua, peningkatan bakti itu untuk membangun kepedulian agar
dengan aktif melakukan pengentasan penderitaan hidup bersama dalam masyarakat (anganyutaken laraning jagat).
Ø Ketiga, untuk membangun sikap hidup yang peduli dengan
penderitaan hidup bersama itu harus melakukan upaya untuk menguatkan diri
dengan membersihkan kekotoran rohani diri sendiri (anganyut aken papa klesa).
Ø Keempat, dengan bersama-sama menjaga kelestarian alam ini (anganyut aken letuhan bhuwana).
|
Upacara Melasti Tahun 2015, Lokasi di Pantai BALI Desa Sumber Sari
Sebamban 3 Blok A, Kecamatan Sungai Loban, Tanah Bumbu - KalSel
|
Dengan melakukan empat hal itu barulah manusia berhak
mendapatkan sari-sari kehidupan di bumi ini (amet sarining amerta ring telenging segara). Kalau eksistensi cuaca
teratur sesuai dengan hukum Rta maka laut akan senantiasa berproses menciptakan
mendung. Dari mendung itulah akan turun hujan. Hujan yang turun itu kalau
disambut di muka bumi ini oleh ibu pertiwi dengan hutannya yang memadai maka
kebutuhan air untuk berbagai keperluan hidup akan senantiasa teratur
keberadaannya. Dalam Bhagawad Gita III.14 dinyatakan bahwa air hujan itu adalah
Yadnya alam kepada semua makhluk penghuni bumi ini.
Upacara Melasti ini jika
diperhatikan identik dengan Upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara
Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling
desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa.
Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa,
mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang
dilaluinya.
Tawur (Pecaruan), Pengrupukan dan Ogoh-ogoh
Sehari sebelum Hari Nyepi, tepatnya pada Hari Jumat Tanggal
20 Maret 2015, umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di
segala tingkatan masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa,
kecamatan, dan seterusnya. Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan,
tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah,
pekarangan, dan lingkungan sekitar.
|
Sekhe Gong Bleganjur iringi Arakan Ogoh-Ogoh keliling Desa Kerta Buwana |
Khusus Masyarakat Bali, pengrupukan biasanya
dimeriahkan dengan Pawai Ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta
Kala yang diarak keliling lingkungan, dan terakhir dibakar. Tujuannya sama
yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.
Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam
semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam
perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang
besar dan menakutkan, biasanya dalam wujud Rakshasa.
|
Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang
menggambarkan kepribadian Bhuta Kala dalam wujud Raksasa
|
Dalam fungsi
utamanya, Ogoh-ogoh sebagai representasi Bhuta
Kala, dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa
pada senja hari Pangrupukan (Jumat, 20 Maret 2015), sehari sebelum Hari Nyepi.
Menurut
para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan
manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan
tersebut meliputi kekuatan Bhuana
Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa
(filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia
dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada
niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga
dirinya sendiri dan seisi dunia.
Ngembak Geni dan Dharma Santi (Silaturahmi)
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah
hari Ngembak Geni, sehari setelah Hari Raya Nyepi, Minggu 22 Maret
2015. Pada hari ini Tahun Baru Saka tersebut memasuki hari ke dua. Umat Hindu
melakukan Dharma Shanti dengan keluarga besar dan tetangga, mengucap syukur dan
saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain, untuk memulai lembaran
tahun baru yang bersih. Inti Dharma Santi adalah filsafat Tattwamasi yang
memandang bahwa semua manusia di seluruh penjuru bumi sebagai ciptaan Ida
Sanghyang Widhi Wasa hendaknya saling menyayangi satu dengan yang lain,
memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan. Hidup di dalam kerukunan dan damai.
Oleh I Wayan Sukadana, S.Hut
(dikutif dari berbagai sumber)